Berlebihan

oleh: Abdul Latip
Ahad, 16/02/2025

Di keseharian kehidupan kita teramat banyak hal kita jumpai secara berlebihan. Bahasa agama menyebutnya sebagai israf. Apapun itu, sesuatu yang diterima atau diberikan secara berlebihan tentu tidak baik.

Air yang kita gunakan berwudlu kebanyakan masih berlebihan, padahal Rasulullah sendiri mencontohkan hemat menggunakan air. Kebanyakan kita masih merasa tidak puas jika kran mengalir tak deras. Padahal kita mungkin hanya butuh segayung saja atau malah masih kebanyakan. Belum lagi jeda antar basuhan satu ke basuhan lainnya.

Nasi yang dimakan dari piring-piring kita di meja makan masih menyisakan beberapa bulir nasi. Jika kita kalikan orang se-Indonesia ada berapa ton beras setiap harinya yang terbuang.
Acara seremoni atau rapat-rapat kadang menampilkan sosok-sosok yang rasanya gatal jika tak bicara. Rasa ingin tampilnya dan merasa wah bisa berbicara dengan mic di hadapan orang banyak seolah mendorongnya harus bicara dan harus lama. Padahal, jamaah atau audien pun tak butuh banyak pembicaraan.

Seorang rois tahlilpun tak sedikit dijumpai memimpin tahlil harus dengan mengucap banyak kata-kata yang sebaiknya tak perlu. Cukup salam dan pimpin tahlilan saja. Tak perlu banyak mengulang doa setelah berdoa. Tahlil yang berlebihan (kelamaan) berpotensi mengurangi keikhlasan jamaah.

Cukup itu cukup, begitulah kata Reza Rahardian sebagai prinsip hidupnya. Ia hanya menghabiskan uang cukup Rp 50.000 saja untuk keperluan hidup seharinya di rumah. Jika semua menerapkan prinsip cukup itu cukup maka tak ada pemborosan dan kejenuhan. Semua berjalan pas. Nyaman. Ujungnya, keberkahan bagi semua.

Belakangan ini negara kita sedang diramaikan berita pemotongan anggaran yang mencapai Rp 300 T lebih. Harusnya, jika menerapkan prinsip cukup itu cukup maka penghematan sampai 50% pun bisa sebenarnya. Dari sini saya ngen-ngen (berangan-angan) bahwa kita selama ini banyak kehilangan keberkahan ya karena berlebihan kita di banyak hal. Saatnya mengurangi yang berlebihan.